Jumat, 02 Januari 2009

Beras Simalakama, Dijual Kelaparan, Dimakan Kemahalan.

Akhir-akhir ini masalah pangan sangat krusial dan sensitif dikalangan masyarakat. Oleh karena itu kebijakan yang diambil pemerintah harus diorientasikan pada pembelaan masyarakat melalui pembangunan pertanian Indonesia. Wacana untuk mengekspor beras sebaiknya ditahan dulu, hendaknya pemerintah menyesuaikan kondisi stok beras nasional yang tersedia saat ini di dalam negeri. Meski dalam data menyebutkan produksi gabah kering giling pada tahun 2008 diperkirakan sebesar 58 juta ton, dengan cadangan sekita 2,3 juta ton, namun sebaiknya sisa produsi yanga ada digunakan untuk pemenuhan kebutuhan beras nasional, terutama lebih diprioritaskan lagi bagi cadangan pangan nasional.

Nasib petani sudah seharusnya diperhatikan oleh semua unsur di negara ini. Tetapi jika negara memang berencana akan mengekspor beras maka hendaknya hal ini dipercayakan pada lembaga yang bertugas mengurusi masalah pangan nasional yaitu Bulog, dan jangan diserahkan pada pedagang atau spekulan. Persoalan yang timbul dari masalah ekspor beras ini adalah jika beras tersebut dimakan, harganya mahal. Akan tetapi bila ditinjau dari aspek komersial untuk mendapatkan keuntungan (profit) memang menguntungkan bila beras tersebut diekspor oleh pemerintah.

Jika pemerintah tetap melakukan ekspor beras maka bisa menganggu stok beras dalam negeri yang pada kenyataannya saat ini masih belum memadai. Disisi lain jika harga beras diekspor mahal, maka apakah akan menaikkan harga gabah pembelian dari hasil panen padi para petani. Oleh karena itu pemerintah sebaiknya tetap berkonsentrasi untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri, dengan cara mengoptimalkan peningkatan produksi beras dalam negeri dan memanfaatkan momentum kenaikan harga beras internasional melalui jalan lebih serius untuk menyerap gabah dari petani kita. Selain itu, pemerintah khusunya melalui Departemen Pertanian harus lebih berkonsentrasi pada tugasnya yaitu bagaimana cara meningkatkan produksi padi petani dengan mengoptimalkan kinerja dari instrumennya, dengan demikian kebutuhan beras nasional terpenuhi.

Pemerintah juga diminta untuk menyerap gabah dari hasil produsi dalam negeri sehingga petani tidak kewalahan untuk menjual gabah hasil panennya. Hal ini terkait dengan harga gabah didaerah-daerah yang masih banyak dibawah HPP (Harga Pembelian Pemerintah). Kebijakan HPP ini hendaknya ditinjau ulang kembali (Reevaluasi) agar para petani dalam negeri bisa menikmati keuntungan dari hasil panenannya. Pada kenyataanya juga kebijakan mengekspor beras dirasa hanya mengakomodir kepentingan pedagang-pedagang beras saja dan tidak sedikitpun memihak pada kepentingan petani.

HPP untuk harga beras digudang Bulog melalui Inpres Nomor 1 tahun 2008 tentang kebijakan perberasan. Pemerintah memutuskan kenaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras dan gabah naik dari Rp. 4.000 per kg menjadi Rp. 4.300 per kg. Harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani naik dari Rp. 2.000 per kg menjadi Rp. 2.200 per kg. Harga gabah kering giling (GKG) di gudang Bulog naik dari Rp. 2.600 per kg menjadi Rp. 2.840 per kg.

Dasar pertimbangan dibuat ketentuan baru tersebut dalam rangka stabilitas ekonomi nasional, meningkatkan pendapatan petani, peningkatan ketahanan pangan dan pengembangan ekonomi pedesaan. Pertimbangan lain adalah akibat dari perkembangan nasional dan global di bidang pangan khususnya beras yang dipandang perlu dilakukan penyesuaian.

Akan tetapi kebijakan kenaikan HPP tersebut masih jauh dari yang diharapkan petani. Nilai ideal minimal untuk HPP GKP adalah didasarkan pada kebutuhan rumah tangga petani, kenaikan biaya produsi pertanian dan sarana produksi pertanian seperti pupuk dan obat-obatan (pestisida).

Menurut data dari Serikat Petani Indonesia (SPI) berdasarkan kecukupan kalori BPS dan harga beras saat ini sebesar Rp.5.000 per liter (petani kita rata-rata net consumer) dalam satu rumah tangga petani terdiri 4 orang, minimal harus mempunyai pendapatan sebesar Rp. 26.400 per hari. Sedangkan pendapatan real petani dari satu hektar lahan dari hasil produksi beras adalah sebesar Rp. 17.500 per hari per keluarga tani dengan harga GKP sebesar Rp. 2.200 jelas tidak mencukupi angka kebutuhan kalori. Untuk mencapai kebutuhan tersebut idealnya HPP (harga jual GKP) di tingkat petani Rp. 3.320 bukan Rp. 2.200 per kg.

Untuk mengatasi hal tesebut dibutuhkan suatu organisasi pemerintah yang mampu menyerap gabah langsung dari petani dan mengatur distribusinya, agar dapat memberikan keuntungan bagi petani namun juga tidak memberatkan konsumen. Hal ini untuk menghindari dominasi para pedagang besar dalam perdagangan beras. Selama ini keuntungan terbesar dalam perdagangan beras di Indonesia masih dinikmati oleh pihak penggilingan dan pedagang besar dibanding dengan keuntungan yang diterima petani padi.

Pemerintah juga hendaknya tanggap dan peka terhadap kenaikan harga beras dunia dengan melakukan evaluasi kritis untuk menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) terhadap gabah para petani. Namun hal itu tidak terjadi, harga gabah yang dibeli pemerintah kepada petani tidak berubah padahal pada kenyataannya kenaikan input (produksi) beras saat ini meningkat. Maka pemerintah terlebih dahulu secepatnya menaikkan HPP terhadap gabah petani dan membeli serta menyerap gabah kering hasil panen para petani untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri, lalu kemudian jika ada kelebihan (surplus) kebijakan ekspor dilakukan.

Kebijakan ekspor beras juga tidak sesuai dengan kenyataan ditengah ketidakpastian produksi beras yang mulai memasuki masa panen hingga Agustus mendatang dirasa kurang bijaksana. Adanya keinginan pemerintah untuk membuka peluang ekspor beras dapat mendorong terjadinya spekulan atau niat dari para pedagang-pedagang untuk menjual beras-beras yang ada di dalam negeri ke luar negeri. Namun jika hal itu dalam status legal (resmi) akan membantu pemerintah tetapi jika terjadi penyelundupan maka akan mengakibatkan harga beras di dalam negeri menjadi tinggi karena stok beras kosong atau tidak ada.

Bila dilihat dari kondisi panen di Indonesia saat ini secara umum musim panen pada akhir Maret hingga April menunjukkan bahwa akan ada penurunan kualitas panen. Hal ini dikarenakan adanya hujan yang turun terus-menerus sehingga akan berdampak pada kualitas panen padi yang menjadi turun. Juga ditambah masalah lain yaitu untuk musim tanam sekarang petani kesulitan memcari pupuk seperti Urea, KCl, dan SP-36, Masalah ini muncul karena adanya permainan pedagang dan ketidak mampuan pemerintah untuk mengatur distribusi pupuk dan mahalnya pestisida untuk pembasmi hama tanaman. Secara keseluruhan masalah diatas menjadi faktor terjadinya penurunan kualitas yang akan mengakibatkan terjadinya penurunan produsi beras nasional.

Terkait dengan masalah ketahanan pangan nasional harus benar-benar diperhatikan oleh pemerintah karena hal ini berhubungan dengan kepentingan nasional, ketahanan pangan harus diorientasikan kepada peningkatan dan ketersediaan produsi nasional. Maka pemerintah harus menghentikan rencana maupun kebijakan ekspor beras ini dan merskipun ada wacana untuk mengekspor beras harus benar-benar dipertimbangkan dan diperhatikan kecukupan dan ketersediaan stok beras nasional, memberikan tugas kepada badan atau instrumen negara seperti Departemen Pertanian dan Bulog. Pemerintah juga harus melakukan penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang baru karena kondisi petani kita dalam situasi yang susah akibat kenaikan harga sarana pertanian, harga pangan (sembako) dan harga BBM.

MEMBUAT ARTIKEL OPINI

Disusun Guna Melengkapi Tugas Mata Kuliah Jurnalisme dan Multimedia




Disusun Oleh :

Punto Laksono Jati

H 0105022

JURUSAN AGRONOMI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2009



Tidak ada komentar:

Posting Komentar